Hutan Mangrove Jakarta – Taman Wisata Alam Angke

Melanjutkan postingan sebelumnya, mengenai hutan mangrove Jakarta.

Langsung saja, untuk sampai ke TWA Angke Kapuk, kita bisa naik angkot U11 dari depan pintu masuk PIK. Atau dari halte busway pluit. Bayar sekitar Rp 4.000,-/orang.

Untuk info, angkot ini agak jarang lewatnya. Jadi agak repot kalau kita sedang mengejar waktu. Dan berhubung saya dan teman-teman saat itu PINTAR :p jadi kami minta nomor HP si Bapak angkot buat ngejemput pas pulang. (Yang mau nomor hp si bapak silahkan hubungi saya…hahha).

Masuk TWA, kita dikenai biaya sebesar Rp 10.000,-/orang. Yang mau sholat tidak usah khawatir karena disana ada mushola yang bisa dibilang cukup apik. (Aslinya saya sangat senang dengan musholanya).

Memasuki area mushola kita harus membuka alas kaki. Dan siapkan mental untuk melewati hamparan papan panas yang menyengat di area tersebut. :mrgreen:

Dari mushola ini kita bisa menikmati teduhnya suasana. Air di bawahnya cukup bening sehingga bisa untuk mengawasi gerombolan ikan yang sedang mencari makan. Dari sini juga kita bisa menikmati indahnya jingga – senja.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

 Lanjut, kita menuju gerbang masuk. Disana semua makanan dan minuman harus dititip. Jangan khawatir kelaparan atau kehausan karena didalam banyak yang jualan. Oya, kita tidak boleh membawa kamera digital. Hanya kamera HP yang diperkenankan dibawa. Tapi kalau memang berniat hunting photo, kita dikenai biaya masuk 1jt.

Saat itu kami kurang beruntung. Hujan lebat bercampur angin mengguyur TWA dan sekitarnya padahal kami belum sempat mengeksplore hutan mangrove. Alhasil waktu satu jam terlewatkan dibawah gubug tempat pembuatan kompos, yang tentu saja menyebarkan aroma tak sedap.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Saat hujan agak reda, kami memutuskan langsung menuju pantai karena waktu yang tersisa tak lagi mencukupi. Untuk mencapai pantai hanya butuh waktu kurang lebih 15 menit. Kita dikelilingi lebatnya pohon mangrove dikiri kanan jalan setapak.

Lembab, sepi, hujan dan hutan, otomatis memberikan efek damai yang dramatis bagi setiap pengunjung. Untuuuuung tempat ini belum terlalu populer dikalangan masyarakat Jakarta dan sekitarnya. Karena apa? Sebab jika terlalu banyak pengunjung, efek suasana alaminya justru akan terkikis.

Di tepi pantai dibuatkan semacam saung untuk berteduh. Dari sini kita bisa mengamati pemandangan pantai yang cukup “menarik”.

Sebagian lahan yang tidak jauh letaknya dari saung itu kita dapat menyaksikan alat-alat berat yang sedang menyulap lahan gambut itu menjadi bangunan elit. Bagaimana bisa? #jujur saya lelah bicara tentang birokrasi negara ini. Apapun bisa jadi asal ada uang, kekuasaan, negosiasi lalu balik lagi ke uang. hufffhh

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Dan mengenai air laut yang keruh, sampah berserakan dimana-mana juga merupakan hal yang melelahkan untuk dibahas. Melelahkan, bikin greget sendiri.

Tapi, setidaknya masih ada sisi alami yang masih tersisa, yang masih nikmat untuk dinikmati. Bahwa Kota metropolitan Jakarta masih punya hutan mangrove. Jauh lebih baik dibanding kebisingan jalanan ibukota [yaiyaaalah..hahha].

Baca juga Hutan Mangrove, untuk info lainnya mengenai TWA.

Note : yang saya bicarakan disini merupakan sisi yang mengarah ke pantai, sesuai petunjuk plang yang ada di TWA. Masih ada sisi lain yang jauh lebih indah, terdiri dari hutan mangrove, gardu pandang, rumah rumbia dan yang lainnya – yang sayangnya kami terkendala waktu sehingga tidak sempat mengeksplore. Lain waktu pengen main kesana lagi. Atau mungkin ada yang mau bareng?.. 😀

About azzuralhi

Ketika Anda tidak percaya tentang keindahan, selama itu pula Anda tidak akan pernah menemukan keindahan.

Posted on 8 Oktober 2014, in Journey and tagged , , , . Bookmark the permalink. 2 Komentar.

  1. penasaran jadinya.. dah ada beberapa bloggir posting tentang hutan mangrove ini..

    Suka

  2. boleh ini nanti di kunjungi

    Suka

Tinggalkan komentar