Ketika Medhok Ditertawakan [Bullying]

Hari yang seharusnya disambut suka cita oleh anak-anak seusiaku saat itu justru kulewati dengan ogah-ogahan.

Lulus, satu kata yang mewakili perjuangan selama tiga tahun dibangku sekolah, satu kata yang bisa jadi mempengaruhi masa depan, satu kata yang teramat sakti. Namun hilangnya semangatku hari itu bukan karena kata lulus tidak digenggaman, melainkan satu fakta yang tak bisa dihindari yaitu perpisahan.

Ketika kita harus pergi dan melepaskan apa yang sudah jadi bagian hidup kita setelah 3 tahun kita terbiasa dengan lingkungan sekolah, guru-guru, kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler dan tentunya para sahabat. Rasanya berat.

Dan beratnya perpisahan itu saya rasakan saat melepas masa SMP. Setelah dinyatakan lulus, saya benar-benar harus meninggalkan apa yang sudah menjadi bagian hidup keseharian secara menyeluruh, merantau. Menuntut ilmu ke kabupaten sebelah – ibukota Propinsi.

Rasanya beraaattt banget, ngga rela dan ngga mau terima. Tapi kalau ngotot ngga terima artinya saya tidak menghargai orang-orang yang begitu peduli dengan pendidikan saya saat itu.

Jadi dengan berat hati barang dipacking seadanya, bahkan tidak sempat pamitan dengan teman-teman. Saking merananya, saya tuliskan surat perpisahan untuk mereka, para sahabat. Kalau dipikir sekarang itu tuh agak konyol – tapi menyentuh.

embarrassed1 onion headembarrassed4 onion head

Setelah mencoba berdamai, sayapun ikut test penerimaan siswa baru. Hasil test yang diumumkan di koran yang bisa dibaca seantero ibu kota itu menyatakan saya diterima disalah satu SMA Negeri yang kebetulan tidak terlalu jauh dari rumah tempat saya tinggal. Tidak lama kemudian hasil test Madrasah juga keluar, tanpa pikir panjang saya ambil yang di Madrasah.

Seperti halnya anak-anak kampung pada umumnya yang mencoba beradaptasi dengan pergaulan anak-anak kota, saya pernah merasa terbullying. Owhh noooo…

You know what???!! Hanya karena logat bicara saya terlalu melayu maklum anak kampung. Dikampung bahasa yang digunakan itu bahasa daerah, jadi logatnya masih agak kental alias medhok jjjaaaann. Jujur awalnya saya merasa depresi sampai terbawa mimpi karena sering dijadikan bahan tertawaan.

Apanya yang salah sih kalau bicara kita ada logat-logatnya gitu. Lagipula, toh logat yang melekat adalah bahasa Ibu yang menjadi ciri khas kota tercinta. Dianggapnya saya tidak gaul karena tidak pernah pake bahasa lu-gua. Aduh plisss, ini pilihan saya dan ini yang membuat saya nyaman. Kenapa sih yang begituan harus dipermasalahkan?

Namun seperti kata pepatah, biarlah waktu yang mengobati segalanya. Berkat waktu, lambat laun saya menganggap semuanya hanya sebagai bahan lelucon yang tidak perlu dianggap serius. Fffiiuuhhh..

hell yes onion head

Bahkan sampai sekarang, saya tidak peduli dengan logat yang masih mendayu setiap kali saya bicara. Saya justru kadang merasa bangga. Setidaknya saya bisa bahasa asing selain bahasa resmi Indonesia. Bahasa asingnya bukan main-main, bukan bahasa yang berasal benua seberang melainkan bahasa daerah Lampung.. :mrgreen:

Bahasa daerah biasanya punya aksara tersendiri, begitu juga bahasa lampung. Aksara Lampung, atau biasa disebut Had Lampung yaitu Kaganga (Sesuai dengan 3 huruf paling atas). Tampilannya seperti dibawah.

huruf-induk-bahasa-lampung

Bentuk tulisan yang masih berlaku di daerah Lampung pada dasarnya berasal dari aksara Pallawa (India Selatan) yang diperkirakan masuk ke Pulau Sumatera semasa kejayaan Kerajaan Sriwijaya. Macam-macam tulisannya fonetik berjenis suku kata yang merupakan huruf hidup seperti dalam aksara Arab, dengan menggunakan tanda-tanda fathah di baris atas dan tanda-tanda kasrah di baris bawah, tapi tidak memakai tanda dammah di baris depan, melainkan menggunakan tanda di belakang. Masing-masing tanda mempunyai nama tersendiri. Aksara Lampung hampir sama bentuknya dengan aksara Rencong (Aceh). Artinya, Had Lappung dipengaruhi dua unsur, yakni; aksara Pallawa dan huruf Arab.

Adapun Aksara Lampung terdiri dari huruf induk, anak huruf, anak huruf ganda dan gugus konsonan, juga terdapat lambing, angka, dan tanda baca. Untuk Lengkapnya bacadi sini.

Bahasa lampung terbagi menjadi dua dialek, ada dialek A dan O/OU. Dialek A biasanya digunakan oleh penduduk adat sai batin, biasanya tinggal disekitar pesisir, dan dialek O/OU dipakai oleh penduduk adat pubian yang kebanyak tinggal disekitar pegunungan.

Dan untuk merangkai kalimat, kita juga harus pake anak huruf,

anak-huruf-dan-tanda-baca

Tidak bisa dipungkiri bahwa perkembangan zaman perlahan menggerus identitas bangsa ini. Hal yang sia-sia bagi saya adalah ketika mendapati orang-orang yang berasal dari suatu daerah, sama-sama mengerti bahasa daerahnya tapi lebih memilih pake bahasa lu-gua, bikin greget. Rasanya pengen deh mites kepala-kepala tuh orang. Saya yangtak punya hak apa-apa untuk melarang mereka bicara dengan bahasa yang mereka pilih cuma bisa meringis.

Mungkin suatu saat sebagian keragaman yang dimiliki Negara Khatulistiwa ini hanya bisa jadi prasasti, jadi sejarah yang terlipat rapi dalam lemari.

Oleh karenanya, mari kita lestarikan adat-budaya kita dari sekarang, mulai dari diri sendiri. Setidaknya mengerti adat-budaya daerah masing-masing itu sudah cukup.

[Re-post]
@Salemba, Agustus 2013

About azzuralhi

Ketika Anda tidak percaya tentang keindahan, selama itu pula Anda tidak akan pernah menemukan keindahan.

Posted on 27 Desember 2013, in 30 Hari Nonstop Ngeblog, Catatan, Personal. Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Tinggalkan komentar