Pengakuan Luka

sakit hati putus cinta

To the point, aku patah hati. Apalagi yang bisa kulakukan selain mengiyakan permintaan mu. Permintaan konyol bagi ku, tapi tulus bagi mu, lalu bagaimana?

**

Tressia harus tidur sendiri malam ini. Kakaknya lebih memilih pergi keluar kota bersama group bikers-nya. Tidak buruk sebenarnya. Yang selalu dan pasti, kakaknya akan membawa oleh-oleh khas daerah yang mereka kunjungi. Dari Bogor, Garut, Bandung, Jogja, Solo, Magelang dan sekarang Surabaya. Selain itu setidaknya dia merdeka atas sepetak kamar kost mereka, bisa leluasa didalam kamar, tersenyum-senyum sendiri tanpa ada yang mendengungkan kata gila. Begadang sampai larut malam tidak ada yang mengganggu walau hanya sekadar gumaman kecil agar jangan lupa mematikan lampu jika mau tidur. Owh, kakaknya memang agak menyebalkan. Bagaimana mungkin masih sempat-sempatnya mempedulikan lampu mati atau nyala, tidur ya tidur saja. Repot amat.

Kakaknya tentu beralasan, dia tahu Tressia suka lupa mematikan lampu, bahkan laptop kadang masih menyala sampai pagi, entah apa yang dikerjakan. Setahu kakaknya tidak ada kegiatan yang benar-benar penting yang dilakukan Tressia dengan laptopnya sampai harus tidur selarut itu. Paling hanya menonton drama korea, lalu ikut banjir air mata. Haha, dasar cengeng ejeknya dalam hati. Iya, cukup dalam hati saja, sebab kalau Tressia mendengarnya pasti tidak mau terima. Baginya cengeng itu berarti menangis, ketika menangis seseorang akan mengeluarkan air mata dan tidak selamanya keluar air dari mata itu artinya menangis, matanya hanya sedang berair, bukan menangis. Benar-benar pembelaan yang konyol dan percuma untuk diperdebatkan.

Tressia lega, akhirnya bisa menikmati kamar sendirian. Lega akhirnya punya ruang untuk sendiri. Ada yang bisa dilakukannya ketika sendiri, sesuatu yang tidak boleh dia perlihatkan pada siapa pun, tidak ada yang boleh tahu. Bukan untuk menyembunyikan pembelaan bodohnya tentang menangis, karena sekarang dia memang butuh menangis.

Galau, tepatnya dia sedang galau, tapi Tressia tidak suka penggunaan diksi tersebut untuk mewakili perasaannya.

Ada banyak debat dalam benakya belakangan ini. Tentang pekerjaan yang sama sekali bukan passionnya. Sulit. Cintailah pekerjaanmu maka kamu akan baik-baik saja, begitu kata pepatah. Bagaimana aku akan baik-baik saja, bagaimana aku bisa mencintai pekerjaan ini, aku sama sekali tidak menyukainya. Aku sudah berusaha, aku sudah melakukannya sepenuh hati tapi memang dasarnya tidak sesuai mau apa lagi. Dan Tressia mulai merasa lelah. Belum lagi masalah lainnya, kuliah adiknya yang berantakan. Kekurangan biaya sehingga beberapa keperluan tidak bisa dipenuhi. Tressia merasa gagal. Sebuah kegagalan yang terasa terulang. Setidaknya cukup aku yang menjalani kehidupan perkuliahan seperti itu, tidak cukup uang untuk membeli keperluan kuliah, membuat tugas dan membeli modul. Ahh Tuhan. Tidakkah bisa Kau beri kami sedikit kemudahan untuk melewati semua ini? Aku lelah seperti ini terus. Begitulah keluhnya ketika merasa payah atas kehidupannya. Meski sebenarnya ia sadar ada banyak orang yang jauh lebih tidak beruntung dari diri dan keluarganya saat ini.

Ritual itu sudah dimulai, sederhana, tapi mungkin memang pantas untuk disebut sebagai ritual. Menyembunyikan tangisan. Selama ini, sebesar apapun tangisannya, Tressia akan melakukannya secara sembunyi-sembunyi. Dikamar mandi, diatas loteng atau dipinggir pantai. Tapi tidak kali ini, karena ia bebas.

Saat Tressia sedang menikmati ritualnya, tiba-tiba ada sms masuk dari nomor yang tidak dikenal. Untungnya diakhir pesan itu ditulis nama sang pengirim. Nama yang sangat dikenalnya, nama yang entah bagaimana sangat ia rindukan, nama yang membuatnya tiba-tiba merasa kuat. Nama itu menanyakan kabarnya. “Hai..hai, Apa kabar?“.

Owh Tuhan, seharusnya tidak sekarang, saat aku sedang rapuh dan butuh pegangan. Dan kenapa harus dia, seseorang yang terlarang bagi ku. Haruskah aku bahagia, ataukah justru membuat kekalutan ini menuju batas awas dan siap meledak. Ada apa dengan Mu, mengapa Kau biarkan hal-hal seperti ini terjadi. Jika boleh aku mengatur semuanya sendiri, aku tidak akan membiarkan perasaan apapun tumbuh dalam hatiku, untuknya. Tapi semuanya adalah milikMu, kuasaMu. Aku hanya pelakon yang hanya perlu melakukan apa yang ditentukan oleh sang dalang. Kaulah dalang itu, dalang yang tidak pernah bisa kami tebak atau kami bangkang. Tidak.

Dan baiklah, sekarang aku simpulkan semua ini atas izinMu, atas kehendakMu, aku tidak akan pernah menghindarinya.

Hai kamu yang disana, aku senang menerima pesanmu disaat seperti ini. Ya, kamu memang tidak tahu apa-apa. Hanya aku. Menyiksa diri atas perasaan yang tidak jelas apa namanya. Tidak mungkin ini ku sebut cinta, tidak pernah ada interaksi nyata antara kita. Semuanya semu, romantisme yang membuat ku merasa utuh itu semu. Semuanya hanya ada dalam mimpi. Bukan mimpi yang pengertiannya adalah angan-angan tapi mimpi, bunga tidur. Bagaimana aku menjelaskannya.

Aku tahu, itu kamu. Terimakasih, apapun maksud semua ini. Satu hal yang harus kamu tahu, aku tidak pernah berniat melepaskanmu siapapun dia.

Puas memandangi pesan tersebut, Tressia segera membalasnya. “Kabar ku baik. Kamu disana apa kabar? Kemana saja selama ini? Sejak kapan ganti nomor baru?. Aku pernah beberapa kali menghubungimu, tapi selalu gagal. Kenapa tidak dari awal memberitahuku?” Rentetan pertanyaan itu langsung dikirim dalam satu kali tekan send.

Jayan, nama pemuda itu. Seseorang yang Tressia kenal sejak kecil. Bermain bersama, belajar bersama, sekolah bersama, masa kecilnya nyaris dia habiskan bersama Jayan. Sampai ketika Tressia harus mengikuti permintaan sang kakak untuk melanjutkan sekolah di kota. Apa yang bisa dilakukannya selain setuju? Ini karena mulai saat itu kakaknyalah yang bertanggung jawab terhadap kelanjutan pendidikan Tressia, membiayainya.

Sedih tentu saja, tapi suatu saat hal ini juga pasti akan terjadi, siapa pun diantara mereka, pada akhirnya pasti akan ada yang pergi. Memang tidak ada bagian yang menyenangkan dalam sebuah perpisahan.

Dalam setiap perpisahan selalu akan lebih mudah bagi mereka yang pergi, bukan bagi mereka yang tinggal. Mereka yang pergi akan menemukan kesibukan baru, teman baru dan lingkungan baru, lama-lama dia akan melupakan apa yang ditinggalkannya. Lebih tepatnya bukan melupakan, tapi berdamai dengan keadaan yang membuat mereka harus pergi. Sedangkan bagi mereka yang tinggal, akan terasa sulit. Mereka hanya akan bertemu dan berkegiatan sebagaimana biasanya. Tentu sulit bagi mereka untuk tidak memikirkan mereka yang pergi. Ini berlaku bagi orang lain tapi tidak bagi Tressia. Dia tidak pernah benar-benar berdamai. Pikirannya selalu ingin kembali, tapi setelah ia berusaha kembali, apa yang ditemukannya tidak sesuai harapan. Tressia kehilangan tempat ditengah teman-teman yang dulu ia tinggalkan, menyedihkan. Aku tidak punya tempat lagi diantara mereka, aku hanya orang asing yang datang entah dari mana, aku tidak bisa menerima semua ini. Mengapa keadaan sedemikian tidak peduli pada ku, protes Tressia.

Lamunan Tressia buyar ketika pesan balasan masuk.

“Kabarku juga baik. Hei bertanyalah satu persatu. Aku bahkan bingung menjawab pertanyaan mana yang harus ku jawab duluan. Iya aku minta maaf, tapi aku mengganti nomorku baru beberapa waktu yang lalu, belum terlalu lama. Aku, sebagaimana yang kamu tahu, masih dikampung, kampung kita. Dan sebagaimana yang kamu tahu, aku sekarang mengajar. Tidak ada kegiatan lain. Oya aku minta maaf karena kita tidak sempat bertemu secara langsung saat kamu pulang liburan akhir musim kemarin. Bagaimana kegiatanmu sekarang? Tinggal dimana?”

Tressia tersenyum. Iya, aku tahu kamu sekarang jadi guru, sepertinya akan jadi guru yang sukses. Di usiamu yang masih muda begini saja kamu sudah mendapatkan kepercayaan yang cukup sebagai pondasi untuk langkah selanjutnya.

Tapi kenapa kamu menanyakan aku sekarang dimana? Apakah kamu berniat menyusul ku kemari? Tressia tersenyum ketika memikirkan kemungkinan tersebut. Tapi sebaiknya jangan. Tetaplah disana. Kamu pasti tidak tahu bagaimana beruntungnya kamu dengan posisi itu sekarang. Kamu sudah punya tempat, jadi untuk apa mengikuti ku kesini, dengan nasib yang tidak jelas. Oya, apakah kamu sudah punya fans club? Kamu pasti sangat terkenal dikalangan siswa perempuan dan para guru muda lainnya. Aku iri dengan mereka.

Tressia menjawab pesan, “Maafkan aku. Aku terlalu gembira karena kau akhirnya menghubungiku. Hmm.. Kau pasti akan menjadi guru yang sukses dan pastinya banyak fans. Aku penasaran bagaimana caramu mengatasi fans-fansmu itu, pasti menyenangkan. Jadi aku sarankan agar kamu tetap disana, nikmati ritme kehidupan yang damai disana, dan ketenaranmu pastinya. Aku masih disini, tempat pertama kali aku merasakan sakitnya jauh dari kampung halaman, jauh dari teman-teman dan tentu saja jauh darimu. Haha. Kadang aku ingin berlari dan kembali kesana agar hari-hari seperti dulu terulang lagi, tapi aku tidak begitu yakin dengan peluang yang mungkin aku dapatkan disana. Rasanya aku bukan lagi bagian dari kalian. Ini menyiksaku. Aku bahkan berpikir seharusnya dulu aku tidak pergi, tapi semuanya sudah berlalu mau dibagaimanakan lagi. Bukankah begitu?”, Send.

“Ahh.. Kamu berlebihan. Tidak ada fans, yang ada hanya murid-murid yang manis dan penurut. Aku tidak peduli jika ternyata mereka hanya menurut padaku..haha. Setidaknya itu memudahkan proses belajar-mengajarku. Hmm.. Tidak ada yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki semua yang sudah terjadi. Satu-satunya yang bisa kita lakukan adalah melakukan yang terbaik agar kita mendapatkan yang terbaik untuk masa depan. Aku merasa tidak ada yang salah dengan kepergianmu. Setidaknya aku melihat peluang yang lebih baik yang mungkin bisa kamu dapatkan, peluang yang tidak mungkin kamu dapatkan jika tetap disini. Bicara tentang peluang, adakah peluang bagi seseorang yang baru selesai kuliah? Ada saudara yang baru selesai kuliah, dia ingin mencoba peruntungan peluang yang ada disana. Bisakah kamu mengabariku jika ada kemungkinan?”

Mendapati kalimat diakhir pesan itu membuat mata Tressia nanar., rasanya seperti terjun bebas ditempat yang terjal setelah melayang beberapa saat.

Ahh… Yang kamu maksud pasti dia. Lupakan kata-kata ku tadi!!! Itulah mengapa aku tidak pernah menyukai keputusanku dulu untuk pergi, ini yang aku takutkan. Owh, rupanya desas-desus itu benar. Kamu sudah punya pacar. Dan apa katamu tadi, saudara? Saudara dari mana? Aku berjanji tidak akan pernah menyukai saudara baru ini. Jangan harap.

“Owh, kalau begitu terimakasih. Semoga kita semua mendapatkan yang terbaik. Saudara? Baik, mungkin aku bisa menanyakannya disini, nanti kau ku kabari. Perempuan atau laki-laki? Aku hanya ingin memastikan kemungkinan apa yang bisa ku usahakan untuknya”. Send.

Sekarang apa yang harus ku lakukan. Kau mintaku membantu dia yang seharusnya tidak usah kau sebut dalam keadaanku seperti ini. Aku memang tidak mengenal saudara yang kamu maksud, tapi aku tahu posisinya di hatimu. Haruskah aku memenuhi permintaanmu. Ku pikir kamu muncul untuk menghiburku, tapi justru malah sebaliknya. Menyiramkan garam pada luka yang sedang menganga. Haruskah aku menyalahkan mimpi-mimpi yang menghadirkan segala romantisme itu? Mimpi-mimpi yang sudah seperti drama korea yang benar-benar indah untuk dinikmati.

Pesan masuk, “Aku tahu kamu pasti akan menyambut baik permintaanku. Terimakasih. Dia perempuan. Aku tunggu kabar baik darimu”. Singkat, tidak semanis pesan-pesan sebelumnya. Benar-benar menyebalkan.

Jadi, satu-satunya maksudnya menghubungiku hanya untuk ini? Agar aku membantu perempuannya? Dia pikir aku sedang butuh lelucon!. “Baiklah, akan segera ku kabari jika ada. Sekarang sudah larut, aku ingin istirahat. Dan besok sudah ada setumpuk tugas yang menanti ku. Demikian juga denganmu, aku rasa. Selamat beristirahat”, Send.

Tidak lama kemudian pesan balasan masuk, “Baiklah. Selamat beristirahat juga, semoga mimpi indah. Aku mengandalkanmu, saudaraku” sebaris kalimat yang membuat Theressia benar-benar merasa ngilu tepat dihulu hatinya.

Saudara? Andai sebutan itu tidak pernah ada diantara kita. Aku benci dengan keadaan ini. Aku benci dengan diriku sendiri yang diam-diam dan tanpa benar-benar kusadari telah mencintaimu, Jayan, saudaraku.

Kenapa kita harus terikat oleh hubungan persaudaraan. Ya, sebenarnya tidak ada yang salah, karena kita tidak benar-benar satu orang tua, bahkan orang tua kakek-nenek kita berbeda. Tapi adat istiadat yang masih dipegang teguh disana akan menyalahkan semuanya.

Lagipula, aku seharusnya tidak serepot ini. Toh, diawal-awal perpisahan kita tidak ada yang aneh. Yang aneh itu adalah mimpi yang akhir-akhir ini menyiksaku. Sudah 2 tahun. Aku hanya bisa bertanya dalam hati, lalu kemudian menikmati dan mengharapkan semuanya jadi nyata.

Teringat bagaimana bodohnya kita dulu, waktu kecil. Aku tahu itu bukan atas kemauan mu. Daren yang menyuruhmu. Kau menyentuhku. Aku bersumpuh kamu laki-laki pertama yang menyentuh bagian itu. Aku ingin menangis tapi aku tidak benar-benar mengerti apa yang perlu kutangisi. Itu konyol.

Dan lihatlah sekarang, kita sama-sama telah tumbuh besar dan..dewasa. Aku, tanpa kusadari telah jatuh cinta padamu. Teman kecilku. Dan mereka bilang kita masih punya hubungan saudara. Aku tidak berani merusaknya, aku tidak akan mengungkapkannya, aku tidak akan membiarkan kamu tahu perasaan konyol ini, terlebih perasaan ini tumbuh bukan berdasarkan interaksi yang nyata. Semuanya tumbuh dalam mimpi-mimpi sialan itu.

Ya, aku mencintaimu. Lalu apa!?. Tressia berbisik lirih dan pedih, anak sungai di matanya mengalir. Matanya berair. Tapi baginya ini bukan tangisan, matanya hanya sedang berair. Penolakan yang sia-sia sebenarnya. Untuk kesekian kalinya Tressia bersyukur malam ini dia sendiri, jadi tidak ada yang melihat matanya berair.

===


About azzuralhi

Ketika Anda tidak percaya tentang keindahan, selama itu pula Anda tidak akan pernah menemukan keindahan.

Posted on 23 Agustus 2013, in 30 Hari Nonstop Ngeblog, Fiksi. Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Tinggalkan komentar