Sampahpun Jadi Ladang Korupsi

Sorry, lagi-lagi saya melempar artikel dari blog orang lain. :mrgreen:

Bicara korupsi memang tidak ada habisnya. Sepertinya semua orang berpeluang jadi koruptor kalau otaknya tidak bersih, termasuk saya dan Anda. Namun saya tidak sampai berpikir bahwa sampahpun bisa dijadikan ladang korupsi. :O

Menilik pada bisik-bisik keributan tentang kekecewaan Wagub Jakarta terhadap DPRD yang tidak menyetujui pengadaan truk sampah beberapa waktu yang lalu, menggerakkan seorang aktivis sekaligus citizen reporter untuk mengecek ke lapangan secara langsung. Bagaimanakah hasil temuannya, silahkan disimak – sampai habiiiiissss. #maksa :mrgreen:

[Iwanpiliang] SABTU, penghujung Januari 2014, pekan lalu saya ke kawasan Bantar Gebang, Bekasi, ke Tempat Penampungan Akhir (TPA) sampah DKI Jakarta. Kawasan lebih 108 hektar milik Pemda DKI itu, di gerbangnya tampak bagai hanggar gudang, ada tulisan TPA, dan judul sebuah perusahaan PT swasta.

“TPA ini milik Pemda, tapi ada pula tulisan perusahaan swasta?”

Demikian pertanyaan sumber menemani saya.

Siapakah pihak swasta itu?

Di bawah bangunan bak hanggar itu, truk-truk pembawa sampah ditimbang. Jumlah tonase truk berikut sampahnya, menjadi acuan total sampah masuk ke TPA ini. Itu artinya berat truk dihitung sebagai sampah. Tidak ada penimbangan truk kosong saat keluar.

Ketika mengamati lalu lintas truk sampah ke luar dari pintu tol Cibubur, hampir sebagian besar truk pengangkut sampah bak terbuka hanya ditutup plastik tebal itu, tidak memiliki tanda uji layak muatan angkutan atau dikenal KIR. Jadi truk kecil riil bermuatan 1,5 ton, mereka main-cantumkan di penimbangan 5 ton. Truk ukuran 6 ton mereka katakan 14 ton. “Ini bagian cara menggelembungkan tonase sampah itu,” ujar sumber saya merinci.

“Timbangan itu hanya basa-basi. Memenuhi persyaratan administrasi.”

Dugaan sumber saya itu, lebih 3.500 ton sampah sehari, angka akal-akalan, alias balon angin, bin haw-haw.

Ia meyakini jika dihitung maka hanya sekitar 2.600 ton saja sampah Jakarta sehari, bukan 6.500 ton. Penggelembungan ini, angka tambun dari kolusi oknum Pemda dengan pihak swasta pengelola telah puluhan tahun menambang “emas” sampah.

Dalam istilah keren saya, oknum Pemda DKI selama ini, melakukan transfer pricinguang APBD, Pemindah-bukuan APBD ke pengelola swasta. Swasta kembalikan dalam bentuk bagi-bagi angpao.

Maka setiap tahun angka sampah DKI ditambah, agar dana bisa dihisap dari penguapan tonase kian besar. Biaya dikeluarkan pemda DKI Jakarta untuk mengangkut sampah ke TPA itu Rp 253. 387 per ton. Anda hitung sendiri jika angka itu dikalikan 3.500 sahaja.

Sekadar gambaran untuk Anda, jika 6.500 ton sehari, maka dalam 2 hari, volume sampah DKI Jakarta, setara dengan volume Candi Borobudur. Volume seukuran Candi Borobudur itu, memang dapat dilihat dari total tumpukan sampah menggunung di dalam kawasan TPA. Namun tumpukan itu, total menahun.

Di satu tumpukan sebuah beku besar mengeluarkan sampah dari truk. Di bawahnya kerumunan pemulung dengan keranjang rotan di punggung, mengais sampah. Mereka memilah; plastik, kayu, bahkan kasur, serta potongan perca, hingga baju bekas.

Saya menyimak satu dua dari ratusan pemulung itu, mendapatkan buah jeruk sudah terkupas, masih ada bagian bisa dimakan. Dengan kondisi tangan bergelimang sampah, dan aroma sekitar bak dikerubungi bau bangkai-masai, ia melahap jeruk sampah basah.

Di bagian atas rombongan pemulung itu, masih ada lagi dua beku bekerja. Alat berat itu mengais sampah ke bagian atas. Terlihat menjadi bertiga trap. Buat gambaran Anda, ya bagaikan lekukan lantai tiga Candi Borobudur.

Mengelilingi ke kawasan itu, jalan-jalan seputar mengalirkan air hitam legam. Jangan ditanya aromanya. Aliran got sekitar tidak mengalir. Di beberapa tumpukan sampah sudah “mencandi” terlihat jaringan pipa hitam berdiameter sepenggaris, 30 cm. Beberapa pipa karet ebonit itu tampak sudah tak tersambung satu sama lain. Konon pipa-pipa itu dialirkan ke pengolahan gas. Itu artinya gas dari sampah sudah dimanfaatkan untuk listrik?

“Teorinya demikian. Namun prateknya lihat saja!” ujar sumber saya itu.

Di sebuah bangunan konon menampung gas sampah itu, memang ada suara mesin menderu. Seakan nyala. Namun sumber saya itu meragukannya menghasilkan listrik. Saya berniat turun, dari mobil untuk memastikan. Namun ia menyarankan jangan, nanti akan menimbulkan kehebohan di lokasi. Itu artinya, proyek listrik dari gas buang sampah, dibiayai Pemda DKI ratusan miliar wajib dipertanyakan.

“Lantas kalau berjalan, listriknya dijual ke mana? Lalu pendapatan penjualannya milik siapa? Toh semua dibiayai Pemda. Bahkan uang Pemda setiap tahun juga membayar Rp 75 miliar Pemda Bekasi, agar kawasan ini dipertahankan.”

Di beberapa kawasan kosong kini banyak ditanami pohon Jati Belanda. “Itu lihat Jati Belanda ditanam oleh swasta. Ini nanti juga bisa menjadi masalah, menjadi milik siapa? Tanah, tanah Pamda, penanam swasta?” Sumber saya itu juga meragukan apakah kini tanah Pemda di Bantar Gebang itu masih ada 108 hektar? Jangan-jangan sudah berkurang jauh?

Ihwal mark up tonase itu, sumber saya itu sudah lama menyarankan ke Dinas Kebersihan DKI Jakarta, untuk mengakui saja dosa panjang. Dosa me-mark up tonase sampah. Namun sejak pengakuan itu dihitung secara riil berapa sampah sesungguhnya.

Kami pernah melalui jaringan BANGROJAK, Bangun Gotong Royong Jakarta, melakukan riset di lapangan. Untuk menghitung riil sampah dapat dilakukan dengan menyimak segenap sampah mulai dari penyapuan, pengangkutan oleh tukang gerobak di tingkat RT hingga pengangkutan ke Tempat Pembuangan Sementara (TPS). Maka ditemui angka tak sampai 2.600 ton sehari. Angka ini kian nyata kalau disimak jumlah truk angkutan DKI Jakarta yang katanya berjumlah 700 unit saja. Jika mereka bekerja 8 jam sehari, dapat dihitung dalam 460 menit lewat 700 unit truk, dan bisa dilihat muatannya. Jika Anda berkenan, saya pastikan Anda akan tertawa-tawa, betapa banyak kali tipu-tipu itu.

Ranah penyapuan, pengangkutan ke TPS itu pun selama ini ada yang dikerjasamakan dengan Swasta sudah lebih 20 tahun. Perusahaannya itu ke itu saja. Dan di TPS ini maka terjadi pula mark up jumlah luas sapuan jalan, jumlah tonase angkutan. Sehingga kalau digabung biaya angkut TPS hingga TPA mendekati angka Rp 500 ribu per ton, setara dengan batubara. Bayangkan kalau 3.500 ton saja per hari tonase haw-haw, dibayar dengan uang APBD? Dan hal ini sudah berlangsung menahun; pembiaran masif.

SENIN, 3 Februari 2014, saya membaca di media, wakil gubernur DKI kecewa dengan tidak disetujuinya pembelian truk sampah sebanyak 200 unit oleh DPRD DKI Jakarta. Hingga Selasa malam saya amati berita-berita di online, ternyata, DPRD tidak menerima ajuan. Konon tertahan pengajuan di Bappeda.

“Saya meminta hal ini diinvestigasi, siapa yang salah, apakah dinas?” ujar Ahok, Wagub DKI Jakarta, ke media.

Saya mencoba memverifikasi mengapa hal itu terjadi. Rupanya alur pengajuan itu diambil inisiatifnya oleh Kepala Dinas dan Wakilnya. Tidak sebagaimana tahun sebelumnya, pengajuan oleh masing-masing Suku Dinas Kebersihan. Bila dilakukan suku dinas, maka dipastikan akan didukung oleh lima Walikota, dan Bappeda tentu akan meneruskan ke DPRD.

Saya tak paham mengapa hal ini terjadi. Yang pasti untuk anggaran 2013 lalu masing-masing Suku Dinas (Sudin) hanya memliki anggaran Rp 50 miliar setahun. Itu artinya dana operasional di Sudin total Rp 250 miliar, sisanya dikelola Kepala Dinas, total Rp 1, 2 triliun. Dan truk dominan tua, membebani biaya operasional, ada buatan 1987 masih digunakan, maka layak diganti, pengadaannya ingin di pool oleh Kepala Dinas dan Wakilnya.

Saya belum melengkapi verifikasi untuk apa saja anggaran sisa di Dinas? Yang pasti antara lain ya, membayar tonase angin haw-haw tadi, di antaranya.

Tim Riset BANGROJAK pernah menyarankan melalui salah satu ketua partai di DKI Jakarta, untuk mengajukan kepada Wagub DKI, agar sekitar 5.000 tukang gerobak sampah digaji saja sesuai UMR. Latar: Pasar milik Pemda. Truk milik Pemda, Kontainer sampah di seluruh DKI juga milik Pemda DKI. Lantas untuk apa kerja sama dengan swasta? Maka tidak berlebihanlah kerja sama dengan swasta hanyalah bentuk akal-akalan memindahkan uang dari kas APBD ke kantung swasta untuk “dirampok” dan “dilahap” bersama. Nah oknum-oknum penyamun itu terindikasi mulai dari pejabat atas hingga level bawah.

Saya pernah menyampaikan ke Gubernur DKI, di saat bersepeda bersama. Bahwa untuk kawasan Monumen Nasional yang kecil itu saja, biaya kebersihan dan tamannya setahun Rp 50 miliar, dilakukan oleh UPT sendiri. Sayangnya kebersihan Monas sering dikeluhkan warga. Dua pekan setelah hal itu saya sampaikan, kami bersepeda lagi ke lokasi, Monas sudah bersih. Saya tak paham hari ini?

Pengelolaan sampah di DKI ini memang sudah menjadi tambang tersendiri. Konon pihak swasta terindikasi mengkartel di pengelolaannya, bisa saban week endberkeliling dunia main golf, mendukung partai politik selama ini mem-backing-nya. Kenyataan itu berbanding terbalik dengan keadaan di TPA Bantar Gebang, di mana sebuah jeruk busuk menjadi kenikmatan tersendiri bagi ratusan pemulung berkubang bau.

Solusi?

Saya pernah menyarankan untuk membongkar akar soal di Dinas Kebersihan, memangkas para pejabat senior, mengganti dengan yang muda, dan mau berubah. Berubah saya maksudkan, mengakui dosa selama ini. Baik gubernur dan wakilnya paham hal ini. Namun saya heran, entah mengapa seperti video Ahok di youtube.com mengatakan akan memecat Kadis Kebersihannya, hingga hari ini tak kunjung terjadi?

Dan ketika bertemu Gubernur DKI Jakarta, saya pernah sampaikan kader muda mereka ada di suku dinas terbiasa menjadi wakil ketika di-audit BPK, bisa tampil membenahi persampahan, terbentur dengan birokrasi, bahwa untuk level Kadis harus dari golongfan 4B. Dan mereka yang mau berubah benar itu umumnya masih berada di golongan 4A.

Ketika saya sampaikan kepada Jokowi, bahwa gubernur punya hak prerogatif? “Tidak mudah, saya bisa di-PTUN-kan,” katanya. Apalagi Jokowi pernah mengalami hal seperti itu ketika menjadi Walikota Solo. Di Solo, ia dikalahkan di PTUN.

Bila sudah demikian, tiada lain tinggal kepada ketegasan sahaja. Mereka yang menjabat di level Kadis dan wakil, terindikasi bermasalah dan sudah setahun lebih diberi kesempatan tanpa ada perubahan, bahkan Kadis saat ini, Unu Nurdin, terindikasi tajam berbohong ke publik. Di saat banjir kini, ia mengatakan ke media sampah banjir 3.550 ton. Bahkan sampah malam tahun baru lalu, ia dengan lantang menyebutkan di teve: 600 ton semalam. Kedua angka itu jelas angka tipu-tipu. Sampah tahun baru dari verifikasi saya di sepanjang Sudirman, Thamrin, hingga Monas tidak sampai 65 ton. Kalaupun digabung se-DKI paling top 150 ton saja. Sampah di jalan Busway dikatakan 300 ton per hari, faktanya, 10% saja tidak. Apakah kebohongan publik tak berkira ini dibiarkan terus oleh pimpinan di DKI? Dan pembiaran itu berkorelasi dengan belanja rupiah untuk membeli tonase angin?

Kini, berpulang ke pejabat Pemda, anggota DPRD, termasuk inspektoratnya. Warga di DKI Jakarta, pasti muak melihat kenyataan itu. Sementara di Bandung dengan kepemimpinan sosok muda, Ridwan Kamil, sebagai Walikota, kini sudah ada program 1.500 motor untuk gerobak sampah, sudah tersedia 200. DKI Jakarta, boro-boro truk bak tertutup otomatis, truk bak terbuka saja mau dibeli, akibat kepentingan sempit oknum Pemda-nya, bikin bau berita media. [@iwanpiliang, citizen reporter]

About azzuralhi

Ketika Anda tidak percaya tentang keindahan, selama itu pula Anda tidak akan pernah menemukan keindahan.

Posted on 13 Februari 2014, in Sekitar Kita. Bookmark the permalink. 1 Komentar.

  1. Aih. Sedihnyaaaa. Bahkan sampahpun dikorupsi.

    Suka

Tinggalkan komentar